Home

Lahir sebagai seorang putra dari pasangan Joni Sarmanto dan Desmawarni pada 24 tahun lalu. Mungkin seharusnya saya ingat kala itu senandung adzan dan iqamah yang dikumandangkan ayah menyambut kelahiran saya.

Itulah kali pertama saya mengenal dan jatuh cinta terhadap Islam.

Semenjak kecil, orangtua saya mewariskan hal yang lebih berarti dari kekayaan atau genetik dan tidak dimiliki sebagian lain, yakni Agama Islam.

Sewaktu kecil saya memang belum paham akan agama yang saya anut ini. Orangtua pun mengajarkan saya tentang berbagai hal mengenai Islam dan mengkursuskan saya tentang Islam demi mengenal seluk beluk agama Rahmatan lilalamin atau agama yang dirahmati ini.

Bahkan saya rutin mengikuti pengajian yang diadakan selepas sholat Maghrib di mushola yang berlokasi di perumahan tempat saya tinggal.

Mengenal dan memahami Islam merupakan keuntungan yang tidak bisa saya bayar atau beli. Islam menjadi tempat saya bernaung dan merasa nyaman. Islam pula yang menjadi pelindung saya dalam menjalani kehidupan walaupun terkadang pelindung itu sesekali saya coba terobos.

Tanpa agama saya bakal  tersesat dan kehilangan pegangan hidup. Dengan adanya agama, saya dipastikan tahu tujuan saya nantinya dan merasa benar-benar hidup.

Sudah jelas pedoman hidup saya adalah agama. Walaupun saya bukanlah muslim sempurna, tapi saya percaya dan mencintai Islam.

Islam tentunya menjadi yang utama dalam hidup saya, barulah kemudian orangtua. Alasannya, mencintai orangtua juga karena restu dan ridho Allah SWT.

Saya mengenal agama selain Islam semenjak kecil, yakni TK. Saat itu saya tinggal di daerah yang terdiri dari penganut Islam dan Kristen. Tak ada pengalaman buruk yang terjadi terkait perbedaan agama. Ucok dan  Laris  adalah teman SD saya yang paling dekat saat itu dan mereka beragama Kristen.

Mereka sangat baik, tidak membedakan teman dan sangat menghargai soal agama. Kami bersahabat dekat dan saling memahami perbedaan.

Ada satu kejadian saat saya berada di rumah Ucok dan sedang akan makan siang. Ucok sekeluarga melarang saya memakan hidangan yang tersedia di meja makan, karena saat itu mereka menyajikan makanan yang tidak diperbolehkan bagi penganut agama Islam. Merekapun akhirnya membelikan makanan di warung yang tak jauh dari rumah. Betapa toleransi yang tinggi dari Ucok dan keluarga.

Di SMP, bahkan kami terdiri dari agama yang lebih beragam, ada Islam, Kristen dan Budha. Namun kami tetap kompak. Mereka selalu mengucapakan selamat ketika umat Islam merayakan hari besar semisal Lebaran Idul Fitri. Begitupun ketika beranjak SMA.

Meski saya tak mengucapkan selamat di hari besar mereka, namun hubungan kami tetap akrab.

Mereka juga menghormati ketika kami berpuasa dan mengingatkan untuk sholat.

Betapa menyenangkan memiliki teman-teman yang mengerti Islam. Saya harap semua umat beragama dapat bertoleransi seperti yang saya dan teman-teman lakukan.

Kini, ketika saya menjadi wartawan pun, saya cukup sering melakukan liputan mengenai kegiatan agama lain, semisal Natal ataupun Imlek. Saya pun beberapa kali mengunjungi vihara dan gereja. Namun hal itu tidak mengubah keyakinan saya terhadap Islam yang saya anut.

Seperti ayat dalam Al-Qur’an yang saya ketahui, bahasanya lakum dinukum waliyadin. Yang artinya, “bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”

One thought on “Tentang Nges

Leave a reply to Wayahna Cancel reply